Mengajarkan Akhlak Mulia

Anas menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai anakku, jika engkau mampu membersihkan hatimu dari kecurangan terhadap seseorang, baik pagi hari maupun petang hari, maka lakukanlah.” Beliau melanjutkan, “Wahai anakku, yang demikian itu termasuk tuntunanku. Barang siapa yang menghidupkan tuntunanku, berarti ia mencintaiku, dan Barang siapa mencintaiku niscaya akan bersamaku di dalam surga.”

Perhatikanlah, semoga Allah merahmati kalian. Dengan apa Nabi mendidik anak-anak, baik saat petang maupun pagi hari? Sungguh, beliau mendidik mereka untuk mengamalkan firman Allah:

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh. Dan bagi-Nya lah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur.” (Ar Rum : 17-18)

Nabi Muhammad SAW mendidik mereka, baik pada pagi hari maupun petang hari agar berhati suci, berjiwa bersih, dan berlapang dada, sebagai persiapan untuk menghadapi suatu hari yang tidak berguna lagi harta benda atau anak-anak, kecuali orang yang datang dengan membawa hati yang bersih.

Lantas apa landasan berpikir kita bila mendidik anak-anak pada masa sekarang untuk membiasakan ucapan selamat sore dan selamat pagi? Tiada daya dan tiada upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung.

Tahukah Anda makna mendidik generasi agar berpagi hari dan berpetang hari dengan hati yang bebas dari kecurangan terhadap seseorang ? Bacalah hadis berikut agar kita mengetahui maknaknya.

Anas bin Malik berkata, “Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba beliau bersabda, ‘Akan muncul kepada kalian seorang lelaki calon penghuni surga.’ Maka muncullah seoarang lelaki dari keluarga Anshar. Dari jenggotnya masih menetes air dari bekas wudhunya. Dia menjinjing terompahnya di tangan kiri. Lelali itu melakukan hal serupa sebanyak tiga kali dalam tiga hari berturut-turut. Pada hari ketiga, setelah Nabi beranjak, Abdullah bin Amr bin Ash mengikutinya dan meminta izin kepadanya untuk menginap di rumah lelaki itu selama tiga malam dan ia mengizinkannya. ”

Anas melanjutkan, “Abdullah telah bercerita bahwa selama tiga malam ia menginap di rumah lelaki itu, ternyata ia tidak melihat lelaki itu salah malam barang sekali pun. Akan tetapi, bila terjaga dari tidurnya dan mengubah posisi tidurnya diatas peraduan, dia selalu berzikir menyebut nama Allah dan bertakbir sampai waktu ia bangun untuk menunaikan Shalat Subuh. Abdullah mengatakan, ‘Hanya saja, saya tidak pernah mendengarnya mengucapkan apapun, kecuali kebaikan belaka. Setelah tiga malam berlalu, aku hampir saja meremehkan amal perbuatannya. Lalu aku berkata, ‘Hai hamba Allah, aku telah mendengar Rasulullah bersabda berkenaan denganmu bahwa akan muncul kepada kalian seorang lelaki calon penghuni surga, lalu muncullah engkau yang hal ini terjadi sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut. Aku pun ingin menginap di rumah mu untuk melihat apa saja amalanmu agar aku dapat mengikuti jejakmu. Akan tetapi, ternyata kulihat engkau tidak melakukan banyak amal seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Karenanya, apakah yang menyebabkan engkau dapat mencapai kedudukan mulia seperti yang digambarkan oleh Rasulullah?” ”

Lelaki itu menjawab, “Tiada lain yang kulakukan hanyalah seperti apa yang telah kamu lihat. Hanya saja, tidak pernah terbesit dalam hatiku perasaan curiga terhadap seorang pun dari kalangan kaum muslimin dan tidak pula rasa iri terhadap seseorang karena kebaikan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.”

Abdullah bin Amr bin Ask pun mengatakan, “Inilah penyebab yang menghantarkanmu hingga dapat meraihnya dan itulah yang belum mampu kami lakukan.”

Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits tersebut ?

Ibnu Qayyim berkata, “Di antara aspek yang sangat perlu diperhatikan dalam pendidikan anak ialah persoalan akhlak. Sebab anak akan tumbuh sesuai dengan kebiasaan yang ditanamkan oleh pendidik di masa kecilnya, misalnya galak, suka marah, keras kepala, terburu – buru, cepat tergoda oleh hawa nafsu, ceroboh, dan cepat naik darah. Bila sudah demikian, orang tua akan sulit menghilangkannya ketika anak telah dewasa. Semua akhlak buruk itu akan berubah menjadi sifat dan karakter untuk menjauhinya, sifat ini suatu saat akan muncul lagi. Oleh karena itu, Anda dapat menemukan banyak orang yang akhlaknya menyimpang disebabkan oleh pendidikan waktu kecil yang salah.”

Demikian juga, anak harus dijauhkan dari kebiasaan berkumpul dalam perbuatan sia-sia, kebatilan, nyanyian, mendengarkan kata-kata keji, bid’ah, dan ucapan yang buruk. Bila anak telah terbiasa mendengar hal itu, ia akan kesulitan menjauhinya ketika dewasa. Orang tuanya pun akan kesulitan menyelamatkan anak dari itu. Mengubah kebiasaan merupakan perkara yang paling sulit. Perlu pembaharuan karakter untuk mengubah suatu kebiasaan. Padahal, keluar dari kungkungan karakter itu sangat sulit.

Orang tua wajib menjauhkan anak dari meminta-minta, semaksimal mungkin. Sebab bila ini telah berubah menjadi karakter, ia akan tumbuh menjadi orang yang senang meminta-minta, bukan menjadi orang yang suka memberi. Sebaliknya, anak harus dibiasakan senang berkorban dan memberi. Bila orang tua hendak memberi sesuatu, sebaiknya diberikan kepada anaknya agar ia yang menyerahkan barang itu kepada orang yang diinginkan agar ia merasakan manisnya memberi. Menjauhkan anak dari kebiasaan berdusta dan khianat lebih besar manfaatnya daripada menjauhkannya dari racun yang membunuh. Sebab, bila anak tumbuh menjadi orang yang suka berbohong dan khianat, rusaklah kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Ia tidak akan mendapat kebaikan di dunia dan di akhirat.

Anak harus dijauhkan dari banyak makan dan tidur dan dijauhkan dari orang yang melakukan hal tersebut. Sebab, berlebih-lebihan akan membuat seorang hamba kehilangan kebaikan dunia dan akhirat. Anak mesti dijauhkan dari bahaya syahwat yang berkaitan dengan perut dan kemaluan semaksimal mungkin. Bila anak telah terbiasa, hal ini akan merusaknya dan menghinakan dirinya meski sebelumnya orang baik. Orang tua sedang mencelakakan anaknya dan mematikan dirinya di dunia dan di akhirat dengan membiarkannya, tidak mendidiknya, dan membantunya untuk mengikuti hawa nafsu. Terlebih bila beranggapan bahwa perbuatannya itu merupakan bentuk memuliakan anak. Ia menganggap bahwa itu adalah bentuk kasih sayang terhadap anak padahal ia menzalimi dan memenjarakannya. Akhirnya, ia tidak bisa mengambil manfaat dari anaknya dan tidak mendapatkan keuntungan di dunia dan akhirat. Bila Anda ingin mengetahui kerusakan pada anak, lihatlah bagaimana keadaan umum orang tua mereka.

Al-Ghazali mengatakan, “Anak harus dibiasakan agar tidak meludah atau mengeluarkan ingus di majelisnya, menguap di hadapan orang lain, membelakangi orang lain, bertumpang kaki, bertopang dagu, dan menyandarkan kepala ke lengan, karena beberapa sikap ini menunjukkan pelakunya sebagai orang pemalas. Anak harus diajari cara duduk yang baik dan tidak boleh banyak bicara. Perlu dijelaskan pula bahwa bicara termasuk perbuatan tercela dan tidak pantas dilakukan. Laranglah anak membuat isyarat dengan kepala, baik membenarkan maupun mendustakan, agar tidak terbiasa melakukannya sejak kecil.

Sebaiknya jangan izinkan anak memulai pembicaraan. Biasakanlah untuk tidak berbicara, selain untuk menjawab sesuai dengan kadar pertanyaan. Hendaklah anak dibiasakan mendengar dengan baik jika orang lain yang lebih besar berbicara. Biasakan juga untuk menghormati orang yang lebih tua, meluaskan tempat duduk baginya, duduk di hadapannya dengan sopan, tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak berguna, tidak mengucapkan kutukan dan makian, serta tidak bergaul dengan orang yang terbiasa mengeluarkan kata-kata tersebut. Itu semua karena tidak mustahil anak terpengaruh teman-teman yang buruk, padahal pokok pendidikan bagi anak-anak adalah menghindarkannya dari teman-teman yang buruk.”

Dikutip dari buku ISLAMIC PARENTING Pendidikan Anak Metode Nabi karya Syaikh Jamal Abdurrahman